Cerpen Karangan: Astri Yunita Wardoyo
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 29 April 2017
Krriiinnnggg…Kkkrriiinnnggg… jam beker menunjukkan pukul 06.00. tetapi Nila masih terlelap. Suara ketok pintu sayup-sayup terdengar.
“Nila… nila… ayo bangun sayang! ingat sekarang hari pertama masuk sekolah kan?”
“Iya ma…”
Dengan gontai Nila berjalan menuju ke kamar mandi unuk membersihkan diri. Sambil menguap lebar ia buka pintu kamar mandi dan ternyata,
“ABANG… Kalau di kamar mandi tutup dong pintunya!!!”
“Busyet, ni anak ngagetin aja, jangan ngintip lo!”
“buruan dong bang, Nila dah kesiangan nih”
“cerewet, baru aja mulai mandi, lo mandi di WC umum aja sana!”
BRANKK… Nila membanting pintu kamar mandi dengan keras. Ia menuju kamar mandi bawah dengan bersungut-sungut.
Nila dan Magenta hanya terpaut 1 tahun. Mereka sekolah di sekolah yang sama. Oleh karena itu walau bersaudara mereka seperti anjing dan kucing. Apapun bisa jadi rebutan. Dari kecil sampai SMU mereka jarang sekali akur. Tetapi ketika berangkat dan pulang sekolah Nila harus bareng dengan abangnya itu. Entah kenapa bu Jingga, ibu Nila dan Magenta tidak pernah mengizinkan anak gadisnya itu pulang sendirian. Dan tentu saja Genta yang sering protes karena ia merasa tidak bebas karena harus menunggu adiknya dan menjemput Nila kemana pun Nila pergi.
“La, ntar abang ada rapat mapala, lo pulang naik angkot ya!”
“Lhaa… Abang gimana sih? Nila ogah naik angkot. Pasti panas, desak-desakan, belum lagi ada copetnya. Nggak mau ah bang”
“Elu tuh yee… makanya cari cowok biar nggak ngrepotin melulu.”
“Yeee… apa hubungannya sama pacar coba? Kalau abang nggak mau pulang bareng, Nila aduin ke mama kalau abang nggak mau pulang bareng karena mau main sama pacar abang.”
“Eehh… awas ya lo kalau berani bilang gitu ke mama, gue jitak lo.”
“Coba aja kalau bisa, hi… hi… hi…” Nila lari meninggalkan abangnya yang tengah kesal itu, dan tiba-tiba BBRRUUKKK…
“Hei, kalau jalan pakai mata donk!” seorang cewek cantik melotot ke arah Nila dengan judesnya
“Berani-beraninya lo nabrak Princess kami? mau cari mati lo di sini.” Semprot seorang cewek bertampang sangar diikuti anggukan kepala rombongan cewek bertampang tak kalah sangar kompak
“Belum tau siapa kami? kalau belum tau gue kasih tau. Kami ini gang popular dan princess ini pimpinan kami. Buruan minta maaf kalau hidup lo pengen aman di sini!”
“Princess? yang mana Princessnya? Kamu, nggak pantas sama sekali dipanggil Princess. Oh iya, setahu aku orang jalan itu pakai kaki bukan pakai mata”
“Blagu banget ini anak, lo anak kelas 1 kan? lo udah berani nabrak gue, nggak mau minta maaf, malah nantangin lagi”
“siapa yang nantangin kamu? sorry ya, aku nggak ada waktu buat meladeni cewek-cewek bodoh seperti kalian”
“Sialan lo, minta dikasih pelajaran ni anak”
Ketika suasana sudah semakin gaduh, tiba-tiba Genta datang melerai kekacauan itu. Genta semakin kaget ternyata Nila, adiknya ikut di dalam kegaduhan itu. Genta pun melerai dan mengusir mereka dan mengancam akan melaporkan ke guru BP kalau cewek-cewek bar-bar itu masih saja membuat kekacauan.
“Awas lo ya, jangan harap bisa tenang sekolah di sini”
Ancam Princess dengan muka merah padam dan rambut awut-awutan, demikian pun dengan Nila.
“Astaga Nila, baru berapa menit masuk sekolah sudah bikin masalah? ada apa sih sebenernya? lo tuh cewek dek, untung nggak ada guru yang tahu. Kalau sampai ada yang tahu…”
Belum sampai Genta selesai bicara, Nila sudah meninggalkan abangnya dengan bersungut-sungut dan bermuka masam.
“Lho, dek… abang belum selesai ngomong ini. Dasar tuh anak kalau dah emosi susah dibilangin. Semoga tidak terjadi apa-apa”
Ternyata kekawatiran Genta benar terjadi. Selama jam pelajaran Nila tidak bisa konsentrasi sama sekali. Kepalanya sangat sakit, ia hanya terdiam dan tidak ada satu pelajaran pun yang masuk ke otaknya.
“lo kenapa La? sakit?” Tanya Intan, teman sebangkunya
“nggak papa, Cuma sedikit pusing”
“tapi lo pucet banget La, tuh lo juga mimisan”
Setetes darah segar mengalir dari hidung mancung Nila. Dan seketika itu Nila pun jatuh pingsan. Intan menjerit dan spontan teman-teman cowok Nila serta pak Robert, guru Bahasa Inggris membantu menggotong Nila ke ruang kesehatan.
Sudah hampir 1 jam Nila belum juga siuman, pihak sekolah membawa Nila ke Rumah sakit terdekat. Genta sangat kawatir melihat adiknya tergeletak lemah tak sadarkan diri.
“Genta, apa yang terjadi dengan adikmu?” bu Jingga mucul dengan amat kawatir.
“Genta juga tidak tahu ma, kata guru Nila tadi tiba-tiba mimisan dan pingsan”
“Ya Tuhan… semoga tidak terjadi apa-apa dengan putrid ku. Genta coba kamu jujur sama mama, apa tadi Nila ada masalah di sekolah? biasanya ia mimisan apabila emosi yang berlebihan.”
“mmmm… sebenarnya anu ma…”
“Anu… anu… apa Genta. Coba jujur sama mama! apa yang terjadi tadi sebelum Nila pingsan?”
“Tadi Nila sempat rebut sama cewek-cewek teman seangkatan Genta ma, tadi Genta lihat ribut-ribut di depan kelas ternyata Nila termasuk dalam keributan itu.”
“Ya ampun Genta, kan mama sudah bilang berkali-kali sama kamu. Jaga adikmu benar-benar. Jangan sampai terlalu emosi.”
“Maaf ma, Genta janji akan jaga Nila dengan baik.”
“Sudahlah Genta, ini bukan salah kamu. Maaf mama hanya kawatir. Mama takut kehilangan kalian. Sudah cukup Cyan yang ninggalin mama.” Bu Jingga sontak menangis tersedu-sedu.
“sudah ma, jangan ngomong gitu lagi, bang Cyan sudah tenang di Surga. Kita harus mendoakan Nila supaya ia tidak apa-apa.”
Nila memang tidak boleh emosi, dari kecil setiap ia marah pasti langsung mimisan. Tidak hanya ketika marah, saat sedih, banyak pikiran, atau terlalu capek. Kata dokter pembuluh halus di hidung Nila sensitif jadi sering mimisan. Tidak hanya mimisan, Nila pun sering pilek dan serak. Genta dan Cyan sering mengolok da menggoda Nila karena sering ingusan. Mereka sering memanggil Nila “dedek ingusan”. Suasana rumah pun jadi ramai kalau mereka bertiga bertengkar. Ujung-ujungnya sang kakak yang mendapat omelan dan cubitan kecil dari ibunya karena sering menggoda dan membuat tangis adiknya. Kalau sudah seperti itu Nila kecil akan bersembunyi dibalik ibunya tersenyum puas sambil menjulurkan lidah ke arah kedua abangnya itu.
Ketika Genta tengah menenangkan ibunya, dokter Bintang memanggil bu Jingga untuk memberikan informasi tentang kesehatan Nila.
“APA? Kanker Nasofaring?”
“iya bu, Nila teridentifikasi terkena kanker Nasofaring stadium lanjut. Kanker ini menyerang saluran tenggorokan dan rongga hidung.karena sel kanker sudah stadium lanjut, ditakutkan dapat menyebar hingga ke otak. Harus dilakukan kemoterapi secepat mungkin.”
Penjelasan dokter tidak bisa dicerna sama sekali diotak bu Jingga. Serasa runtuh dunianya. Akankah ia kehilangngan buah hatinya lagi? batu 5 tahun yang lalu ia kehilangan ditinggal pergi selama-lamanya oleh Cyan putra sulungnya. Cyan juga menderita kanker, kanker otak. Dan sekarang Nila. “Ya Tuhan… kuatkan hambamu ini.”
Ketika bu jingga keluar dari ruang dokter, Genta telah menunggu ibunya dengan cemas.
“Apa kata dokter ma? Nila sakit apa? Nila nggak kenapa-kenapa kan ma?” berondong Genta penuh tanda Tanya.
Bu Jingga tidak menjawab pertanyaan putranya tetapi langsung terduduk dengan lemas dan menyakit terdesu-sedu. Genta bingung “sebenarnya apa yang terjadi dengan Nila? kenapa mama sedih sekali? jangan-jangan…” batin Genta tak karuan.
Beberapa saat setelah ibunya tenang, Genta meanyakan lagi apa yang sebenarnya terjadi dengan adiknya. Bu Jingga mengatakan semua yang dijelaskan dokter kepadanya. Sekarang giliran Genta yang menangis sambil memeluk ibunya.
“Kenapa Tuhan nggak sayang sama Genta ma?”
“Hush… Jangan bilang seperti itu! jagan salahkan Tuhan sayang!”
“Tapi Tuhan sudah mengambil Bang Cyan, sekarang Nila juga diberi sakit kanker. Apa namanya kalau nggak sayang ma?”
“Sudah… sudah… Tuhan sayang banget sama kita. Makanya kita masih diberi cobaan seperti ini supaya kita tetap bersyukur dan berdoa kepadaNya. Mama juga sedih ekali Genta, tetapi ini sudah digariskan oleh Tuhan. Sekarang kita berdoa saja untuk kebaikan Nila. Dan mama harap kita jangan sampai terlihat sedih di depan Nila. Mama takut akan memperburuk keadaannya.
“Jadi Nila jangan sampai tahu penyakitnya ini ma?”
“Iya, kita harus merahasiakannya demi kebaikan adikmu.”
“Oke ma.”
Genta dan ibunya sepakat untuk merahasiakan penyakit Nila. Bahkan ayah Nila, Pak Bara yang sedang bekerja di Sigapura tidak mengetahui penyakit yang diderita putrinya. Tetapi makin kesini tubuh Nila semakin lemah. Hampir tiap hari ia mimisan dan suaranya juga berubah dari sengau menjadi serak. Nila merasakan sakit yanh luar biasa di kepala hingga tenggorokannya.
“Ma, sebenarnya Nila sakit apa sih kok tiap hari mimisan gini? mana sekarang suara Nila juga serak, buat nelan juga sakit banget ma.”
Bu Jingga tidak bisa menjawab pertanyaan putrinya, ia hanya bisa menggigit bibir bawah menahan tangis. Ia tidak tahu harus bicara apa pada putrinya. Ia takut membuat Nila semakin down karena kepikiran penyakitnya.
“Ma… mama kok bengong? sebenarnya ada apa sih ma? abang juga sekarang aneh. Kalian kenapa sih? pasti ada yang kalian umpetin dari Nila. Ya kan?” berodong Nila penuh Tanya.
“Aah… Nggak ada apa-apa kok. lo ja yang curigaan.” Jawab Genta spontan
Bu Jingga hanya terdiam tidak berbicara sepatah kata pun. Lalu tiba-tiba darah segar kembali menetes dari hidung Nila. Genta dan ibunya serentak menolong Nila yang lemas dan kejang-kejang. Pada waktu yang bersamaan pak Bara tiba di rumah dah kaget bukan kepalang melihat kejadian di rumahnya.
Beberapa bulan Nila dirawat di Rumah sakit, keadaannya semakin melemah. Pak Bara bersikukuh membawa putrinya ke Singapura untuk mendapatkan perawatan yang lebih canggih. Tetapi bu Jingga menolak karena keadaan Nila, ia takut putrinya tidak kuat melewati perjalanan jauh.
Penyakit ganas itu telah merenggut kecantikan Nila. Badannya kurus kering, kepala botak karena efek kemoterapi, dari lubang hidung dan telinga Nila terus menerus mengeluarkan cairan hitam. Seperti darah yang mengental dan berbau busuk. Doa dari teman-teman dan kerabat tak henti untuk kesembuhan Nila. Geng Princess, teman sekelas Genta yang sering iseng mengganggu Nila pun hampir tiap Minggu mengunjungi Nila di ruang ICU.
Hingga di suatu malam, Nila kesulitan bernafas, darah bercampur cairan hitam yang mengental terus-menerus keluar dari lubang hidung dan telinganya. Bahkan ia pun muntah darah. Dan tepat pukul 00.00, ditanggal yang sama dengan Cyan meninggalkan orang-orang yang dikasihinya, Nila menghembuskan napas untuk yang terakhir kalinya. Tangis pecah di ruang ICU itu, bu Jingga tak sadarkan diri. Genta mengamuk hilang control, hanya pak Bara yang meneteskan air mata sambil memeluk dan berbisik di telinga putrinya
“selamat jalan tuan putriku, papa iklas nak. Baik-baik di surga sana bersama abangmu!”
Cerpen Karangan: Astri Yunita Wardoyo
Facebook: Astri tunita wardoyo
Sumber dari : http://cerpenmu.com/cerpen-keluarga/selamat-jalan-nila.html